Panduan Shalat Hari Raya Idul Adha

Image

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.

Hukum Shalat ‘Iedha

Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.“[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.

Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. … Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]

Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.“[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

 

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,

اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,

نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

“Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“[22]

 

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.“[23]

Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,

كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa)dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammembuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]

Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]

Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya“. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair.

Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan:

Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]

Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Teks Takbiran Hari Raya

Image

الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر، لااله الاالله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد

Allahu akbar.. Allahu akbar….. Allahu akbar…..

Laa – ilaaha – illallaahu wAllaahu akbar.

Allaahu akbar walillaahil – hamd.

Artinya :

Allah maha besar (3X), Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar, Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.

َاللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَافِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلااللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَللهِ الحَمْد

Allaahu akbar kabiiraa walhamdulillaahi katsiiraa,…wasubhaanallaahi bukrataw – wa ashillaa.Laa – ilaaha illallallahu walaa na’budu illaa iyyaahu mukhlishiina lahuddiin walau karihal – kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau karihal musyrikun. Laa – ilaaha – illallaahu wahdah, shadaqa wa’dah, wanashara ‘abdah, – wa – a’azza – jundah, wahazamal – ahzaaba wahdah. Laa – ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil – hamd.

Artinya:

Allah maha besar dengan segala kebesaran,Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya,Dan maha suci Allah sepanjang pagi dan sore.Tiada Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan agama Islam meskipun orang kafir, munafiq dan musyrik membencinya.Tiada Tuhan selain Allah dengan ke Esaan-Nya. Dia menepati janji, menolong hamba dan memuliakan bala tentara-Nya serta melarikan musuh dengan ke Esaan-Nya.Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar. Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.

Fadhilat Puasa Sunnah Hari Arafah 9 Zulhijjah

Image

 

Seperti yang kita tahu, tarikh Hari Raya Aidiladha tahun 2012 jatuh pada hari Jumaat, 26 Oktober 2012 bersamaan dengan 10 Zulhijjah 1433 Hijrah. Jadi, Hari arafah iaitu 9 Zulhijjah akan jatuh pada hari Khamis ini Insya Allah.

 

‎”Daripada Abi Qatadah al-Ansari bahawa Rasulullah S.A.W telah ditanya mengenai puasa hari Arafah? maka jawab Rasulullah S.A.W yang ertinya : “Di kaffarah (diampun dosa) setahun lalu dan setahun akan datang.” 
(Hadis adalah hadis sahih dikeluarkan oleh imam Muslim, Tarmizi, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi)

Sabda Rasullullah S.A.W lagi:

“Tiga kelompok manusia yang akan dijabat tangannya oleh para malaikat pada hari mereka keluar dari kuburnya iaitu :- 1. Orang-orang yang mati syahid 2. Orang-orang yang mengerjakan solat malam dalam Bulan Ramadhan. 3. Orang berpuasa di hari Arafah.

KHUTBAH IDUL ADHA 1433 H BELAJAR DARI NABI IBRAHIM, MEMBANGUN CITA-CITA DUNIA DAN AKHIRAT

 

 Image

 
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ اَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
 
Kaum muslimin yang berbahagia!
Betapa besar karunia Allah Ta’ala kepada kita semua. Betapa tidak terhingga nikmat-Nya untuk kita semua. Ada yang kita sadari, namun lebih banyak yang luput dari kesadaran kita.
Marilah kita renungkan betapa banyak kedurhakaan kita kepada-Nya.
Betapa hari demi hari yang kita jalani tidak pernah luput dari kelalaian untuk mengingat-Nya.
Tapi dengan semua kelalaian itu, Allah Azza wa Jalla tidak pernah lalai dan bosan untuk terus-menerus mencurahkan nikmatNya kepada kita. Semua kedurhakaan kita tidak menghalangi Dia yang Mahaperkasa untuk tetap menyelimuti kita dengan kasih sayangNya.
Dan hari ini, Ia masih mengizinkan kita untuk sekali lagi bersujud kepadaNya, untuk sekali lagi bertakbir dan bertahlil mengagungkan namaNya, dan untuk sekali lagi bertaubat kepadaNya.
Kita tidak pernah tahu, hadirin sekalian, boleh jadi inilah sujud terakhir kita padaNya di dunia ini. Inilah takbir dan tahlil terakhir kita untukNya. Dan inilah taubat kita untuk terakhir kalinya kepadaNya.
Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd.
 
Kaum muslimin rahimahukumullah!
Idul Adha akan selalu mengingatkan pada sosok Ibrahim alaihissalam dan keluarganya. Hari ini, di saat jutaan saudara kita kaum muslimin bergegas menyelesaikan prosesi ibadah haji yang agung, di tanah air ini, kita duduk sejenak untuk merenungkan pelajaran-pelajaran yang dititipkan Allah kepada kita melalui kisah monumental Nabi Ibrahim dan keluarganya ‘alaihimussalam.
Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
“Sungguh bagi kalian terdapat teladan yang baik dalam (diri) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya…” (al-Mumtahanah: 4)
Sosok Ibrahim ‘alaihissalam adalah teladan pengorbanan yang tulus. Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin harus sepenuhnya hidup untuk sebuah obsesi dan cita-cita yang tinggi. Bahwa obsesi dan cita-cita seorang mukmin tidak akan pernah terhenti hingga ia menjejakkan kakinya di dalam Surga Allah. Obsesi dan cita-cita itulah yang membuatnya rela melakukan pengorbanan demi pengorbanan di kehidupan dunia yang terlalu singkat ini.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengajarkan kepada kita bahwa obsesi dan cita-cita hidup kita sepenuhnya harus selalu diukur dengan keridhaan dan kecintaan Allah Azza wa Jalla. Apa yang diridhai dan dicintai oleh Allah dan RasulNya, maka itulah obsesi dan cita-cita kita. Jika tidak, maka obsesi dan cita-cita itu harus segera kita hapus dan buang jauh-jauh dari kehidupan kita. Karena obsesi dan cita-cita yang tidak diridhai oleh Allah Ta’ala hanya akan membawa kehidupan kita dalam serial malapetaka dan kehancuran yang tidak akan habisnya.
Maka demi obsesi dan cita-cita tertingginya akan Surga, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam melintasi gurun sahara yang kering, di bawah cengkraman terik matahari dan pelukan malam-malam yang dingin. Dan ia tidak sendiri dalam perjalanan itu. Istri dan bayi mungilnya ikut serta “menikmati” perjalanan penuh obsesi itu. Obsesi akan Surga Allah.
Bayangkanlah, hadirin sekalian, betapa tidak mudahnya perjalanan itu! Tapi inilah caranya untuk membuktikan kepada Allah Azza wa Jalla bahwa mereka sungguh-sungguh dengan obsesi tentang Surga itu. Dan kita semua tentu mengetahui bahwa pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarga kecilnya itu tidak berhenti sampai di situ.
Pertanyaan pentingnya untuk kita semua adalah:
Sudahkah obsesi dan cita-cita hidup kita sepenuhnya untuk Allah?
Jika jawabannya adalah iya, maka seberapa besar sudah pengorbanan yang kita tunjukkan kepadaNya untuk itu?
Bersyukurlah jika tahun ini kita ikut menyembelih hewan kurban, tapi untuk obsesi sehebat Surga, tentu harus lebih dari itu!
Dalam konteks pengorbanan ini pula, maka kita teringat kepada kisah heroik Keluarga Yasir di awal Islam, saat mereka melewati penyiksaan demi penyiksaan atas komitmen keislaman mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghibur mereka dengan mengatakan:
صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ
“Bersabarlah, wahai Keluarga Yasir! Karena sesungguhnya janji pertemuan kalian adalah Surga.”[1]
 
Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd!
Kaum muslimin yang berbahagia!
Hingga detik ini, negeri kita yang mayoritas muslim ini terus-menerus menjadi panggung tempat dipentaskannya berbagai macam krisis dan tragedi akhlak dan moral yang memilukan.
Kisah-kisah para pejabat Negara yang korupsinya tidak pernah puas, yang didukung oleh kondisi penegakan keamanan dan keadilan yang berat sebelah dan memihak kepentingan tertentu, telah menjadi konsumsi rutin kita tiada henti. Pembasmian korupsi seperti lebih sering menemukan jalan buntu, namun penangkapan dengan dalih terorisme begitu sering mengukir prestasi.
Lalu tiba-tiba kita dikejutkan oleh seorang hakim pengadilan negeri yang tertangkap basah dalam pesta narkoba di sebuah hotel, yang tanpa ragu menggelontorkan uang sebesar 10 juta rupiah dalam satu malam itu saja!
Begitulah, ternyata krisis moral dan akhlak telah melanda orang-orang tua di negeri ini. Lalu bagaimana dengan generasi mudanya?
Menurut catatan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Kalimantan Timur, sepanjang tahun 2008 saja dari sekitar 300 lebih responden yang diteliti (Pelajar SMP dan SMA), sebagian besar di antaranya sudah sering berzina, bahkan ada yang sudah hamil.
Sekitar 14 % dari mereka melakukan perbuatan amoral (zina) itu di lingkungan sekolah, sedangkan 28 % dari mereka melakukannya di rumah. Sisanya, di tempat rekreasi dan di hotel-hotel.
Di Papua, terdapat sekitar ratusan pelajar yang mengidap HIV/AIDS. Dari jumlah tadi, 60 % lebih diderita pelajar asli asal Papua dan 40 % lagi pelajar non Papua (pendatang), sebagaimana disampaikan oleh Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPAD) Provinsi Papua.
Dan semua itu adalah fenomena gunung es. Sedikit yang terungkap, dan lebih banyak lagi yang tidak terungkap.
Kita juga tentu mengikuti fenomena tawuran antar pelajar dan mahasiswa yang seringkali disebabkan oleh hal-hal remeh yang tidak masuk di akal.
Dengan semua fenomena kebobrokan kaum muda Indonesia itu, kita kemudian dikejutkan dengan klaim sebuah media televisi bahwa lembaga-lembaga Rohis adik-adik kita di SMA adalah sarang pengkaderan teroris. Stasiun televisi itu lupa bahwa Rohis adalah benteng utama pembinaan moral anak-anak kita.
Kenyataan dan fakta ini tentu saja membuat kita bertanya: Mengapa itu semua terjadi?
Dalam konteks perjuangan Nabi Ibrahim, kita dapat mengatakan bahwa banyak generasi tua dan generasi muda telah kehilangan obsesi dan cita-cita hidup yang sesungguhnya. Banyak orang berjalan dalam obsesi-obsesi semunya.
Mereka semua mungkin tahu bahwa korupsi, berzina dan melakukan kezhaliman itu dosa. Tapi lemahnya obsesi dan cita-cita akhirat, membuat mereka takluk tak berdaya pada godaan dunia yang menghancurkan masa depan akhirat mereka.
Karena obsesi semacam ini pula, banyak orang tua yang lupa bahwa anak-anak mempunyai kebutuhan yang jauh lebih besar daripada uang dan materi. Mereka membutuhkan belaian cinta dan bimbingan penuh kasih sayang dari orang tua mereka.
 
Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd!
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah!
Tapi harapan menjadi lebih baik selalu ada, sebagaimana pintu taubat Allah selalu terbuka bagi siapapun di antara kita yang ingin berubah menjadi hamba yang lebih baik.
Sekali lagi, marilah belajar dari Nabi Ibrahim alaihissalam. Beliau adalah teladan bagi setiap orang tua yang menyayangi anaknya. Beliau mengajarkan kepada kita cara yang benar dalam menyayangi anak kita. Bukan dengan memuaskan segala permintaannya, tapi dengan mendekatkan mereka kepada Allah dengan penuh hikmah dan kelembutan.
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ
“Sesungguhnya Ibrahim itu adalah seorang yang lembut, pengasih dan selalu kembali (kepada Allah).” (Hud: 75)
Inilah sifat dan karakter dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang tua: lemah lembut, pengasih dan yang tidak kalah pentingnya: selalu kembali dan bersandar kepada Allah yang Mahakuat.
Coba renungkan doa yang dipanjatkan Ibrahim karena kecintaannya kepada keluarga dan anak-anaknya:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: ‘Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan jauhkanlah aku serta keturunanku dari menyembah berhala…” (Ibrahim: 35)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Tuhanku, jadikanlah aku sebagai orang yang menegakkan shalat, beserta keturunanku. Duhai Tuhan kami, terimalah doaku…” (Ibrahim: 40)
 
Kaum muslimin yang berbahagia!
Demikianlah kekhawatiran dan kegelisahan Ibrahim terhadap keturunannya. Karena itu, seperti Nabi Ibrahim, seharusnya kita selalu khawatir jika anak-anak kita akhirnya tidak lagi menyembah Allah dan menghambakan diri kepada selain Allah. Seharusnya kekhawatiran anak kita tidak shalat dan menjalankan perintah Allah lebih besar daripada saat ia kehilangan karirnya.
 
Di sinilah Nabi Ibrahim alaihissalam –sekali lagi- mengajarkan kepada kita untuk berani berkorban demi obsesi dan cita-cita akhirat kita.
Kita harus berani mengorbankan obsesi politik kita, jika itu hanya akan menghancurkan masa depan akhirat kita.
Kita harus berani mengorbankan obsesi karir dan jabatan kita, jika itu hanya akan membuat Allah murka kepada kita.
Kita harus berani mengorbankan obsesi nafsu kita, jika itu hanya akan membuat kita menyesal di saat penyesalan tidak akan pernah berguna lagi di Padang Mahsyar.
Semua obsesi keduniaan itu tidak akan membuat kita bahagia, jika pada akhirnya hanya akan menorehkan nama-nama kita dalam barisan makhluk yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla.
 
Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd
Hadirin yang dimuliakan Allah!
Kepada mereka yang mendapatkan amanah untuk memimpin dan mengatur negeri ini, mulai dari level nasional hingga level lokal…Kepada aparatur peradilan dan keamanan…Tunaikanlah amanah mengatur negeri ini dengan penuh rasa takut kepada Allah. Jangan pernah berlaku zhalim sedikit pun, karena itu –kata Rasulullah- akan menjadi kegelapan yang berlapis-lapis pada hari kiamat. Renungkanlah selalu firman Allah Ta’ala ini:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
“Dan jangan pernah sekalipun engkau menyangka Allah akan lalai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zhalim. Sungguh Allah hanya mengulur mereka hingga hari di mana pandangan mata mereka terbelalak.” (Ibrahim: 42)
Kepada rekan-rekan generasi muda, jangan pernah terlena dengan tubuh yang masih kuat, mata yang masih tajam, kulit yang mesih kencang dan usia yang belum tua. Semua itu sama sekali bukan jaminan bahwa perjalanan Anda di dunia masih lama. Sebab tua dan muda memiliki kedudukan yang sama di hadapan kematian. Gunakanlah tubuh yang kuat dan usia muda ini untuk bekerja meraih kesuksesan dunia dan akhirat Anda.
Kepada para muslimah yang mulia, kaum wanita adalah pilar utama bangunan suatu masyarakat. Dan kaum wanita hanya bisa menjadi pilar utama itu jika mereka tetap berada dalam fitrah kewanitaan mereka sesuai yang digariskan Allah dan RasulNya. Dan hari ini, Indonesia yang tertatih-tatih ini menanti kehadiran Anda, para wanita sejati, yang membelai dan mendidik anak-anaknya dengan cinta, yang belajar setinggi-tingginya agar dapat menjadi ibu yang cerdas dan bijak bagi anak-anaknya, bukan untuk yang lainnya…
Kepada para penanggung jawab dan pelaksana media informasi, pesan kami hanya satu: tulis dan sampaikan apa saja yang ingin Anda sampaikan, tapi ingatlah bahwa setiap kata dan ucapan itu akan Anda pertanggungjawabkan di hadapan Allah Azza wa Jalla. Tak satu pun kata yang tertulis atau terucapkan yang akan luput dari pengadilan Allah kelak. Karenanya berhati-hatilah dengan pena dan ucapan Anda.
 
Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd
Kaum muslimin yang berbahagia!
Mari berkurban sesuai tuntunan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam , hewan yang dapat dikurbankan adalah domba yang genap berusia 6 bulan, kambing yang genap setahun, sapi yang genap 2 tahun. Syaratnya, hewan kurban tidak boleh memiliki cacat atau penyakit yang bisa berpengaruh pada dagingnya, jumlah maupun rasanya, misalnya: kepicakan pada mata, kepincangan pada kaki dan penyakit pada kulit, kuku atau mulut.
Seekor domba atau kambing hanya mencukupi untuk kurban satu orang saja, sedangkan seekor sapi boleh berserikat untuk tujuh orang, kecuali berserikat pahala maka boleh pada semua jenis tanpa batas.
Sebaiknya pemilik kurban yang menyembelih sendiri hewan kurbannya, tetapi dia bisa mewakilkannya kepada penjagal, dengan syarat seorang muslim yang menjaga shalatnya, mengetahui hukum-hukum menyembelih dan upahnya tidak diambilkan dari salah satu bagian hewan kurban itu sendiri, kulit atau daging, meskipun dia juga bisa mendapat bagian dari hewan kurban sebagai sedekah atau hadiah.
Waktu penyembelihan hewan kurban adalah seusai pelaksanaan shalat Idul Adha hingga tiga haritasyriq setelahnya.
Pembagian hewan kurban yang telah disembelih dapat dibagi tiga bagian, sepertiga buat pemiliknya, sepertiga buat hadiah dan sepertiga buat sedekah kepada fakir miskin. Nilai pahala hewan kurban seseorang di sisi Allah Ta’ala tidak hanya diukur dengan banyaknya daging yang dihasilkan atau banyaknya darah yang dikucurkan, tetapi sifat keikhlasan pemiliknya, olehnya itu luruskanlah niat hanya mengharap balasan dariNya semata.
Dan karena hari ini bertepatan dengan hari Jum’at, maka perlu diketahui jika hari raya bertemu dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at menjadi gugur bagi kaum pria yang mengikuti shalat Ied, sehingga ia hanya wajib mengerjakan shalat Zhuhur. Namun yang afdhal jika ia tetap hadir shalat Jum’at. Tetapi para imam dan khathib Jum’at diharapkan tetap menunaikan shalat Jum’at, agar syiar Jum’at tetap terjaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Telah bertemu pada hari kalian ini 2 hari raya. Maka barang siapa yang mau, maka shalat Ied itu telah mencukupkannya dari shalat Jum’at, tetapi kami (tetap) melaksanakan shalat Jum’at.”[2]
 
Hadirin yang berbahagia!
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd!
Akhirnya, di ujung khutbah ini, marilah kita tundukkan hati dan jiwa serta seluruh tubuh ini kepada Allah, untuk berdoa dengan penuh keikhlasan padanya.
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين و على آله وصحبه والتابعين،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَحْمَدُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُحْمَد وَنَشْكُرُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُشْكَر وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ فَإِنَّكَ أَنْتَ أَهْلُ الْمَجْدِ وَالثَّناَءِ ، رَبَّناَ ظَلَمْناَ أَنْفُسَناَ ظُلْماً كَثِيْراَ وَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لَناَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَحِيْم
Duhai Allah yang Maha pengasih, yang Mahalembut…kami tidak pernah sanggup menghitung karuniaMu kepada kami, seperti kami tidak pernah sanggup menghitung berapa banyak kedurhakaan kami kepadaMu. Seharusnya kami patuh pada perintahMu, tapi kami lebih sering durhaka. Seharusnya kami jauhi laranganMu, tapi kami lebih sering mengikuti hawa nafsu kami…
Duhai Allah yang Maha pengampun, tidak ada yang mampu mengampuni dan menutupi semua dosa kami selain Engkau. Engkaulah Penguasa segalanya. Ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa yang berserakan di sepanjang hidup kami…Ampuni kelalaian kami mengingatMu…Ya Allah, jika Engkau tak lagi berkenan mengampuni kami, maka entah ke mana lagi kaki ini melangkah mencari pengampunan itu…
Duhai Allah yang Maha melihat, yang Maha mendengar…hari ini, untuk kesekian kalinya kami menundukkan jiwa kami dan mengakui betapa seringnya kami durhaka kepada kedua orang tua kami. Tidak jarang kami membantah dan berbicara tidak pantas kepada mereka…Betapa seringnya kami mengabaikan keperluan mereka…Kami seringkali lupa bahwa mereka-lah pintu kami memasuki Surga-Mu, ya Allah.
Duhai Allah yang Maha luas ampunanNya, ampunilah semua kedurhakaan dan kelalaian kami kepada mereka…liputilah kedua orang tua kami dengan ampunan dan rahmatMu…terangi alam kubur mereka yang telah tiada dan berikan kekuatan beramal shaleh kepada mereka yang masih hidup…Ya Allah, izinkan kami untuk berbakti sebaik mungkin kepada mereka hingga kehidupan kami berakhir di dunia ini…
Ya Allah, yang Maha perkasa dan Maha bijaksana…Nun jauh di sana, ratusan bahkan ribuan saudara kami sedang melewati episode-episode yang berat dalam hidup mereka. Di Suriah, Irak, Palestina dan tempat lainnya, saudara-saudara kami tetap membesarkan dan mengagungkan Nama-Mu di bawah cengkraman musuh-musuhMu yang zhalim. Ya Allah, tidak ada satupun yang luput dari pengetahuanMu…Dengan keMahakuasaanMu, segerakanlah pertolongan dan kemenangan untuk mereka…Segerakanlah kehancuran dan kekalahan kepada siapapun yang berkonspirasi menzhalimi mereka, Ya ‘Aziz, Ya Jabbar, Ya Dzal Jalaali wal ikram…
Ya Allah, Tuhan yang Maha mendengar dan Maha melihat…karuniakanlah kepada kami pemimpin-pemimpin yang tidak pernah takut kecuali kepadaMu. Berikan hidayah kepada mereka untuk selalu beribadah dan menegakkan ketetapanMu…Karuniakanlah kepada kami para pemimpin yang memimpin kami dengan cinta, yang tulus memimpin untuk kebaikan kami di dunia dan akhirat…
Ya Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa kabulkanlah doa kami, penuhilah permintaan kami.Kami adalahlah hamba-Mu yang lemah, harapan kami hanya kepadaMu, Engkau Maha Mendengar, Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq,lkEngkaulah sebaik-baik Pemberi yang diharap.
رَبَّناَ لاَ تُزِغْ قُلُوْبَناَ بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَناَ وَهَبْ لَناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ ،
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ،
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ .

 

Semuanya karena Allah SWT ( لله، باالله و مع الله )

Image

 

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ . يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .
[رواه مسلم]

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam apa yang beliau riwayatkan dari Allah ta’ala, bahwa Dia berfirman, “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhya Aku telah haramkan kezhaliman atas diriKu, dan Aku telah menetapkannya sebagai sesuatu yang diharamkan di antara kalian, maka jauhilah kalian saling menzhalimi. Wahai hamba-hambaKu, kalian semua sesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian. Wahai hambaKu, kalian semua lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian. Wahai hambaKu, kalian semua telanjang, kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian. Wahai hambaKu, sesungguhnya kalian berbuat salah di siang dan di malam hari, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni kalian. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak akan bisa mendatangkan kemudharatan kepadaKu lalu menimpakannya kepadaKu, dan kalian takkan bisa memberikan manfaat kepadaKu lalu kalian memberikannya kepadaKu. Wahai hamba-hambaKu, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, mereka semua berada pada taraf ketakwaan seorang paling tinggi tingkat ketakwaannya di antara kalian, hal itu takkan menambah kerajaanKu sedikit pun. Seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari kalangan bangsa jin dan manusia, mereka semua berada pada taraf kedurhakaan seorang yang paling tinggi tingkat kedurhakaannya di antara kalian, hal itu takkan mengurangi kerajaanKu sedikit pun. Wahai hambaKu, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, semuanya berdiri di atas tanah yang tinggi, lalu mereka semua meminta kepadaKu, lalu aku penuhi permintaan mereka, untuk yang demikian itu, tidaklah mengurangi apa-apa yang Aku miliki, kecuali seperti berkurangnya jarum jika dimasukkan ke dalam lautan. Wahai hambaKu, sesungguhnya itu hanyalah amalan kalian. Aku menghitungnya untuk kalian, kemudian Aku memberikannya secara sempurna kepada kalian, maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah dia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapatkan yang selain dari itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri. (HR. Muslim)

Penjelasan:

Asy Syaikh rahimahullah berkata: Hadits ke 24 ini, dari Abu Dzar Al Ghifari dari Nabi, dari apa yang diriwayatkan dari Rabbnya. Hadits ini dan semisalnya dinamakan hadits qudsi. Karena hadits tersebut telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, dari Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku telah haramkan kezhaliman atas diriKu.” Allah telah menjelaskan dalam hadits ini, bahwa Dia telah mengharamkan kezhaliman atas diriNya. Oleh karena itu, Dia tidak menzhalimi siapa pun, tidak dengan menambah dosa, dan tidak pula mengurangi kebaikan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala.

وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا

“Dan barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh dan dia dalam keadaan beriman, maka dia tidak akan khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan mengurangi haknya.” (Thaahaa: 112)

“Aku telah menetapkannya sebagai suatu yang diharamkan di antara kalian.” Yakni, Aku menetapkan kezhaliman itu sebagai suatu yang haram di antara kalian, maka Dia mengharamkan sebagian kalian menzhalimi sebagian yang lain. Dia subhanahu wata’ala berfirman, “Maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Huruf fa’ pada kalimat ini berfungsi untuk merinci apa-apa yang sebelumnya.

“Wahai hamba-hambaKu, kalian semua sesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.” Para hamba semuanya sesat dalam hal keilmuwan dan dalam hal amalan, kecuali orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Jika perkaranya demikian, maka yang wajib adalah memohon petunjuk kepada Allah. Oleh karena itu, Dia subhanahu wata’ala berfirman, “maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.” Hidayah (petunjuk) di sini mencakup hidayah ilmu dan hidayah taufiq.

“Wahai hambaKu, kalian semua lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian.” Perkataan ini seperti perkataan yang sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa para hamba seluruhnya lapar, kecuali orang-orang yang diberi makan olehNya. Kemudian Dia memerintahkan kepada hamba-hambaNya untuk meminta makan kepadaNya, agar Dia memberi makan kepada mereka. Hal yang demikian itu, karena Dzat yang mengeluarkan tanaman dan memenuhi ambing-ambing susu hewan adalah Allah. Sebagaimana firmanNya,

لَوْ نَشَاء لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ * أَأَنتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ * أَفَرَأَيْتُم مَّا تَحْرُثُونَ

“Maka terangkanlah kepadaKu tentang apa yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Seandainya Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur, maka jadilah kamu heran tercengang.” (Al Waaqi’ah: 63-65)

Kemudian harta yang diperoleh dari hasil tanaman itu adalah milik Allah subhanahu wata’ala.

“Wahai hambaku, kalian semua telanjang.” Yakni, tampak auratnya, kecuali orang yang diberi pakaian oleh Allah dan dimudahkan untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, Dia berfirman, “Kecuali yang Aku berikan pakaian, maka mintalah.”

“Kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu.” Yakni, mintalah pakaian kepadaku, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian, karena pakaian yang dikenakan oleh anak keturunan Adam adalah di antara perbendaharaan yang telah Allah keluarkan dari bumi. Jika Allah menghendaki, hal itu tidak akan mudah untuk didapatkan.

“Wahai hambaKu, sesungguhnya kalian berbuat salah di siang dan di malam hari, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” Sabda beliau ini seperti sabda beliau dalam hadits shahih lainnya,

“Setiap bani Adam berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.” (Hasan, dikeluarkan oleh At Tirmidzi di dalam [Shifatul Qiyamah/2499], Ibnu Majah di dalam [Az Zuhd/4251], dan dihasankan oleh Al Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’ [4515])

Manusia berbuat salah di siang dan di malam hari, yakni melakukan kesalahan, yaitu menyelisihi perintah Allah dan rasulNya dengan melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal yang diperintahkan, akan tetapi kesalahan ini ada obat (penawar)nya, -segala puji bagi Allahlah-, yakni firmanNya, “Mintalah ampun kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” Yakni, minta ampunanKu, niscaya Aku akan mengampuni kalian. Maghfirah (ampunan) adalah menutupi kesalahan dan memaafkannya.

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak akan bisa mendatangkan kemudharatan kepadaKu lalu menimpakannya kepadaKu, dan kalian takkan bisa memberikan manfaat kepadaKu lalu kalian memberikannya kepadaKu.” Karena Allah tidak membutuhkan para makhluk. Seandainya seluruh penduduk bumi ini kafir, maka mereka tidak akn dapat mendatangkan kemudharatan sedikit pun kepada Allah. Sebaliknya, jika seluruh penduduk bumi ini beriman, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikit pun kepada Allah. Karena Dia maha cukup, sehingga Dia tidak butuh kepada para makhlukNya.

“Wahai hamba-hambaKu, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, mereka semua berada pada taraf ketakwaan seorang paling tinggi tingkat ketakwaannya di antara kalian, hal itu takkan menambah kerajaanKu sedikit pun.” Hal itu karena ketaatan orang-orang yang taat, hanyalah bermanfaat bagi dirinya sendiri. Adapun Allah, Dia tidak mengambil manfaat darinya karena Dia tidak butuh kepada hal tersebut. Seandainya seluruh manusia berada pada taraf ketakwaan seorang yang paling tinggi tingkat ketakwaannya, hal itu sedikit pun tidak akan menambah kerajaan Allah.

“Seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari kalangan bangsa jin dan manusia, mereka semua berada pada taraf kedurhakaan seorang yang paling tinggi tingkat kedurhakaannya di antara kalian, hal itu takkan mengurangi kerajaanKu sedikit pun.” Hal itu karena Allah tidak butuh kepada kita. Seandainya manusia dan jin, mereka semua berada pada taraf kedurhakaan seorang yang paling durhaka di antara kalian, maka hal itu sedikit pun takkan mengurangi kerajaan Allah.

“Wahai hambaKu, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, semuanya berdiri di atas tanah yang tinggi, lalu mereka semua meminta kepadaKu, lalu aku penuhi permintaan mereka, untuk yang demikian itu, tidaklah mengurangi apa-apa yang Aku miliki, kecuali seperti berkurangnya jarum jika dimasukkan ke dalam lautan.” Hal itu karena sempurnanya kemurahan dan kedermawanan Allah, keluasan apa yang dimilikiNya, karena seandainya Dia memberi setiap manusia permintaan mereka, hal itu tidak mengurangi apa yang dimilikiNya sedikit pun.

“Kecuali seperti berkurangnya jarum jika dimasukkan ke dalam lautan.” Ini adalah sebagai penguat tidak berkurangnya kerajaan Allah. Karena telah dimaklumi bahwa jika jarum dimasukkan ke dalam lautan, kemudian jarum itu ditarik kembali, maka lautan itu tidak akan berkurang sedikit pun, karena basah yang menempel pada jarum tersebut tidaklah teranggap apa-apa.

“Wahai hambaKu, sesungguhnya itu hanyalah amalan kalian. Aku menghitungnya untuk kalian.” Yakni, Aku persiapkan untuk kalian dan digariskan bagi setiap orang.

“Kemudian Aku memberikannya secara sempurna kepada kalian, maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, maka hendaklah dia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapatkan yang selain dari itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.” Bersama dengan itu, Allah akan membalas satu kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya, hingga tujuh ratus kali lipat, hingga kelipatan yang banyak. Sedangkan Dia membalas satu kejelekan dengan yang semisalnya, atau Dia akan mengampuni dan memaafkan dosa-dosa selian syirik. Wallahu a’lam. Hadits ini adalah hadits yang begitu agung, yakni hadits Abu Dzar Al Ghifari yang diriwayatkan dari Rasulullah dari Rabbnya, bahwa Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku telah haramkan kezhaliman atas diriku.” Syaikhul Islam rahimahullah telah menjelaskan hadits ini dalam sebuah tulisan yang bagus. (Saya mengatakan [pentakhrij]: dan syarah tersebut berada di dalam Al Fatawa Al Kubra). Hadits ini pun telah disyarah oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam syarah hadits Arba’in An Nawawi.

Faedah yang dapat dipetik dari hadits ini:

1. Riwayat yang telah dinukil Nabi dari RabbNya. Itulah yang dinamakan oleh para ulama dengan hadits qudsi.

2. Allah telah mengharamkan kezhaliman atas diriNya, itu karena kesempurnaan keadilanNya, padahal Dia Maha Kuasa untuk berbuat zhalim, Maha Kuasa untuk mengurangi kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan orang-orang yang berbuat baik, dan Maha Kuasa pula untuk menambah kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat maksiat lebih dari kadar yang dilakukan oleh mereka. Akan tetapi, karena kesempurnaan keadilanNya, Dia haramkan hal itu atas diriNya.

3. Kezhaliman –di antara kita- diharamkan. Rasulullah telah menjelaskan, bahwa kezhaliman itu bisa terjadi dalam hal darah, harta, dan kehormatan. Di mana pada hari raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian, diharamkan atas kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini.” (Shahih, dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Al Ilmu/67/Fath], Muslim di dalam [Al Qisamah/1670/Abdul Baqi])

4. Manusia pada dasarnya berada di dalam kesesatan dan kebodohan, berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala,

وَاللّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا

“Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. (An Nahl: 78)

Dan firmanNya di dalam hadits ini, “Wahai hamba-hambaKu, kalian semua sesat, kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.” Pada dasarnya manusia berada di dalam penyimpangan dan kezhaliman.

5. Wajibnya memohon hidayah kepada Allah, berdasarkan firman Allah dalam hadits ini, “Mintalah petunjuk kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.”

6. Manusia, bahkan seluruh makhluk kelaparan dan sangat membutuhkan makanan, kecuali orang-orang yang diberi makan oleh Allah. Konsekuensi dari faedah ini adalah sesungguhnya manusia hanya meminta kepada Rabbnya, dan hanya meminta kepadaNya semata, dan tidak memohon kepada sesama hamba. Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian.”

7. Para hamba adalah telanjang, kecuali yang diberi pakaian oleh Allah, dimudahkan dan digampangkan untuk memperoleh pakaian itu untuknya. Karena itu, Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian.” Yakni, mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku akan memberikannya untuk kalian. Allah menyebutkan telanjang setelah menyebutkan makanan. Hal itu tidak lain karena makanan adalah pakaian dalam, sedangkan sandang adalah pakaian untuk yang nampak.

8. Anak keturunan Adam (manusia) banyak berbuat kesalahan di siang dan di malam hari, akan tetapi segala kesalahan itu dapat diimbangi dengan ampunan Allah, karena Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Katakanlah, Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”(Az Zumar: 53)

Konsekuensi dari hal itu, setiap orang (hendaknya) mengetahui kapasitas dirinya. Setiap kali dia bersalah, maka ia meminta ampunan kepada Allah.

9. Dosa-dosa bagaimana pun banyaknya, sesungguhnya Allah akan mengampuninya, jika seseorang memohon ampunan kepadanya, berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam hadits qudsi ini, “Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka minta ampunlah kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni kalian.” Dan firmanNya, “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak akan bisa mendatangkan kemudharatan kepadaKu lalu menimpakannya kepadaKu, dan kalian takkan bisa memberikan manfaat kepadaKu lalu kalian memberikannya kepadaKu.” Hal itu karena Allah tidak butuh kepada semua makhlukNya. Dan di antara nama-namaNya adalah Al ‘Aziz (Yang Maha Perkasa), dan Dialah Yang Maha Kuat, tidak mungkin ditimpa kemudharatan. Demikian pula, Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Karenanya, Dia tidak butuh pada upaya seseorang untuk memberikan manfaat kepadaNya, dan tidak seorang pun yang mampu mendatangkan kemudharatan kepadaNya, karena kesempurnaan kekayaanNya.

“Wahai hamba-hambaKu, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, mereka semua berada pada taraf ketakwaan seorang paling tinggi tingkat ketakwaannya di antara kalian, hal itu takkan menambah kerajaanKu sedikit pun.” Hal itu karena kesempurnaan kekayaanNya. Sekalipun seluruh makhluk, baik dari bangsa jin dan manusia berada pada taraf ketakwaan seorang yang paling tinggi tingkat ketakwaannya, hal itu sedikit pun tidak akan dapat menambah kerajaan Allah, karena Allah subhanahu wata’ala tidak butuh kepada mereka.

“Seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari kalangan bangsa jin dan manusia, mereka semua berada pada taraf kedurhakaan seorang yang paling tinggi tingkat kedurhakaannya di antara kalian, hal itu takkan mengurangi kerajaanKu sedikit pun.” Hal itu karena kesempurnaan kekayaanNya, maka ketaatan orang yang taat takkan dapat mendatangkan manfaat kepadaNya dan kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepadaNya. Maksud dari kedua kalimat ini adalah untuk memberikan dorongan untuk taat kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepadaNya.

“Wahai hambaKu, seandainya generasi pertama kalian dan generasi akhir kalian, baik dari bangsa manusia dan jin, semuanya berdiri di atas tanah yang tinggi, lalu mereka semua meminta kepadaKu, lalu aku penuhi permintaan mereka, untuk yang demikian itu, tidaklah mengurangi apa-apa yang Aku miliki, kecuali seperti berkurangnya jarum jika dimasukkan ke dalam lautan.” Hal itu karena kesempurnaan kekayaanNya dan keluasanNya. Dari kalimat ini dapat dipetik faedah bahwa Allah Maha Luas Kekayaan dan LedermawananNya. Dan firmanNya, “Kecuali seperti berkurangnya jarum jika dimasukkan ke dalam lautan.” Telah disebutkan di muka bahwa yang dimaksud dengan itu adalah untuk menegaskan bahwa hal itu tidaklah mengurangi kekuasaan Allah sedikit pun.

Dan firmanNya, “Wahai hambaKu, sesungguhnya itu hanyalah amalan kalian.” Dapat diambil faedah dari ucapan ini: anjuran untuk beramal shaleh hingga manusia mendapatkan kebaikan.

10. Allah subhanahu wata’ala tidak menzhalimi manusia sedikit pun.

11. Orang yang bermaksiat akan mencela dirinya sendiri, di waktu yang tidak bermanfaat celaan ketika itu, tidak pula penyesalan. Berdasarkan firmanNya, “Dan barangsiapa yang mendapatkan yang selain dari itu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.”

Allah SWT Mengangkat Derajat Orang-Orang yang Menuntut Ilmu/ Kenangan Terindah Ketika Mengikuti Dauroh Madinah- Sukses -Allahu Akbar

 Image
استمارة المقابلة الشخصية للعام الدراسي 2013-2014
  : تنبيهات
هذه الصفحة خاصة بأعضاء هيئة التدريس في الجامعة الإسلامية•
29-6-2012: تاريخ تقديم الطلب  
إذا لم تكن الصورة الشخصية واضحة ، يجب إرفاق صورة مع هذه الاستمارة•
A7F87FA0: رقم الطلب  
هذه الصفحة غير متاحة للاطلاع بعد إجراء المقابلة ، وتسلم لعمادة القبول والتسجيل •
MUHAMMAD ALI: اسم الطالب
الجنسية: أندونيسيا
23: العمر
2009: سنة الحصول على الشهادة
الشريعة الدعوة القرآن الحديث اللغة الكلية التي يرغبها الطالب
A7F87FA0: رقم الطلب  
بأكثر من رواية كامل القرآنقصار السور(  )عدد أجزاء  مقدار الحفظ من القرآن الكريم
   
مرتفع متوسط منخفض مستوى الحفظ
مرتفع متوسط منخفض مستوى التلاوة والتجويد
   
مرتفع متوسط منخفض العلوم الشرعية
مرتفع متوسط منخفض العلوم العربية
   
مرتفع متوسط منخفض المعلومات العامة والقدرة على الفهم
لائق غير لائق الصفات الشخصية
   
مرتفع متوسط يحتاج إلى معهد تعليم اللغة العربية التحدث والكتابة بالعربية
يحرص على قبوله يقبل الأفضلية لغيره لا يقبل توصية المقابل
: مذكرة
 
تاريخ المقابلة :     /      /    143 هـ : اسم المقابِل
:التوقيع : الرقم الوظيفي

 

“ 7 Golongan yang dilindungi Oleh Allah swt ”

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لا ظِلَّ إِلا ظِلُّهُ : الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ “( متفق عليه )

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: ” Tujuh orang yang akan dilindungi Allah dalam naungan-Nya yaitu: Imam (pemimpin) yang adil, pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah pada Allah, orang yang hatinya selalu terikat pada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah pula, seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan kecantikan tetapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’, orang yang bersedekah sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya, dan seorang yang berdzikir kepada Allah sendirian lalu menitikkan airmatanya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hari Akhir adalah hari dimana tiada naungan selain hanya naungan Allah SWT. Namun, ada beberapa golongan yang telah mendapat garansi atas perlindungan tersebut. Mari fahami agar kita bisa menjadi salah satu atau lebih diantara mereka.

1. Imam (pemimpin) yang adil.

Dalam ajaran Islam, seorang imam atau pemimpin haruslah berlaku adil, karena segala hal yang menjadi tanggung jawabnya akan dipertanyakan kembali di akhirat kelak. Maka bergembiralah bagi pemimpin yang dapat berlaku adil, karena akan mendapatkan naungan di sisi Allah SWT di akhirat nanti. Pemimpin yang dimaksud tidak hanya pemimpin sebuah negara ataupun penguasa suatu tempat, namun termasuk pula seorang suami yang memimpin isteri dan anak-anaknya dalam sebuah keluarga.

2. Pemuda tumbuh dewasa dalam beribadah pada Allah SWT

Allah juga menjanjikan naungan atau lindungan di akhirat kepada pemuda yang senantiasa hidup dalam ibadah kepada Allah SWT. Ibadah yang dilakukan tersebut dilakukan semata-mata karena Allah SWT, seakan-akan Allah melihat segala perbuatan dan amal ibadahnya itu. Penekanan Pemuda menjadi isyarat bahwa ibadah bukan hanya untuk orang tua yang telah lemah dan sebentar lagi akan mati. Pemuda justru isyarat bahwa ibadah dilakukan dengan penuh energi dan hasrat yang disalurkan untuk meraih ridlo Allah SWT dimana hasrat itu cenderung mengajak kepada pemuasan nafsu.

3. Orang yang hatinya selalu terikat pada masjid

Masjid adalah rumah Allah SWT. Naungan Ilahi akan selalu ada di akhirat nanti bagi orang yang senantiasa rindu untuk beribadah di masjid dan merasa betah berada di dalamnya. Setiap waktu, ia selalu menunggu-nunggu tiba saatnya untuk datang ke masjid untuk sholat wajib maupun sunnah, sholat berjamaah, mengaji, mendengarkan ceramah, atau kegiatan apapun untuk memakmurkan masjid.

4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah SWT, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah pula

Dua orang yang saling mencintai karena Allah akan mendapatkan lindungan dari Allah SWT di akhirat nanti, dan Allah SWT akan mengizinkan kedua orang tersebut untuk masuk ke dalam syurga-Nya.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ada seorang lelaki yang ingin mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di dalam perjalanannya Allah SWT mengutus seorang malaikat untuk mengawasinya. Ketika lelaki itu sampai padanya, malaikat itu berkata, “Kemanakah engkau akan pergi?’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.’ Malaikat itu bertanya lagi, ‘Apakah engkau punya kepentingan dari kenikmatan di desa ini?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.’ Kemudian malaikat itu berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah SWT yang diutus kepadamu, bahwa Allah juga mencintaimu sebagaimana kamu mencintai-Nya.”

5. Seorang lelaki yang dirayu oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan dan kecantikan tetapi ia menolaknya seraya berkata ‘Aku takut kepada Allah’

Berada dalam kondisi di atas adalah salah satu ujian terbesar bagi manusia, khususnya seorang laki-laki. Seorang laki-laki yang beriman pada Allah SWT akan selalu takut kepada Allah dan takut kepada azab api neraka, sehingga laki-laki ini sentiasa mendapat perlindungan dari-Nya.

Seperti kisah Nabi Yusuf As, seorang pemuda yang mulai tumbuh hasratnya dan digoda oleh seorang wanita cantik istri seseorang yang memiliki kuasa di saat keadaan sepi, menguatkan godaan setan yang selalu merayu. Tapi rasa takut atas adzab Alloh dan keyakinan atas perlindungan Alloh membuat Nabi Yusuf As mampu menolak semua godaan itu.

6. Orang yang bersedekah sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh tangan kanannya

Allah SWT akan memberikan perlindungan bagi orang yang suka memberi sedekah dengan ikhlas dan tidak mengharapkan balasan selain ridho Allah SWT semata. Dalam bersedekah, ia tidak membesar-besarkannya. Sebaliknya, ia akan melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan tidak ingin diketahui orang lain.

7. Seorang yang berdzikir kepada Allah sendirian lalu menitikkan airmatanya

Berdzikir dengan hati yang tulus, ridho, dan ikhlas seorang diri, dengan perasaan takut kepada Allah hingga meneteskan airmata, sebagai tanda kecintaan kepada Allah SWT, menyadari kebesaran Allah SWT, serta merasa dirinya penuh dosa sehingga memohonan ampunan kepada-Nya. Allah akan membukakan pintu syurga untuk orang-orang yang seperti ini. Dzikir secara sendirian akan lebih menjaganya dari godaan riya yang akan merusak ibadahnya.

 SUDAHKAH KITA TERMASUK DALAM (SALAH SATU ATAU BEBERAPA) GOLONGAN INI?

Akhir kata, mudah-mudahan kita semua termasuk yang di golongkan dalam Hadist Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sehinggah kita mendapat perlindungan dari Allah swt serta Syafaat dari Nabi Kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Amin ya Rabbal Alamiin. Wa Jazaakumullahu Jannatal Firdaus. Amiin Allahumma Aamiin…!!!

By : Muhammad Aly El-Bhoney

 

 

“Keistimewaan Sistem Kewarisan Islam”

Image

 

Assalamu’alaikum,wr,wb. Sahabat dakwah yang dirahmati Allah swt, kembali kita di pertemukan oleh Allah dalam acara Madrasah Dhuha, yang sudah berjalan beberapa bulan yang lalu. Dan Alhamdulillah bertepatan pada hari Ahad 23/09/2012 DKM (AQL) Islamic Center mengadakan kembali “Grand Opening  Madrasah Dhuha” yang menampilkan  Ustadz Muh.Abduh Yazid & Ustadz Hendra Hudaya. Beliau adalah Salah satu pakar tentang Ilmu Kewarisan Islam . dan beliau menyelesaikan studynya di Gontor Ponorogo, Lanjut di pesantren yang ada di Sulawesi selatan yaitu Pondok-Pesantren Darul Huffadh dan Alhamdulillah sekarang beliau sudah menerbitkan Buku pelajaran Faroidh yang kini sudah di pelajari santri-santri yang ada di AQC (Ar-Rahman Qur’anic Collage) yang ada di Bogor, Cirimpak Mega mendung. “Ust.Muh.Abduh Yazid”.

Tentunya Madrasah Dhuha ini insya Allah akan diadakan terus berlanjut di setiap minggu pada hari Ahad, dengan beberapa materi yaitu Ilmu Tauhid (Asmaa’ul Husna), Ilmu Hadist (Hadist Arba’iin), Sirah Nabawiyyah (Sejarah Nabi, sahabat, dan Khulafaa’u Rasyidiin),  Kristiologi dan Masih banyak materi yang lain insya Allah.

Kuliah Dhuha kali ini bertema : “ Ilmu Kewarisan Islam ”. Ilmu waris adalah ilmu yang sangat sedikit sekali dipelajari untuk saat ini.Namun sudah menunjukkan kemuliaan ilmu waris karena Allah Ta’ala telah merinci dalam Al Qur’an mengenai hitungan warisan. Dan Allah yang memberikan hukum seadil-adilnya. Beda dengan anggapan sebagian orang yang menganggap hukum Allah itu tidak adil karena suuzhonnya pada Sang Kholiq.(Naudzubillah min Dzaalik)

Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an  dalam Surat An-Nisa,

Artinya “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”(QS.An-Nisaa: 11)

Di ayat lain Allah swt berfirman di Lanjutan ayat ini yang mana ayat ini sangat menarik dan luar biasa sekali bagi kita semua yang mana Ilmu waris ini sudah menjadi ketentuan dari Allah swt dan ini merupakan batas-batasan Allah swt dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasulnya maka akan memasukkan kedalam surga serta mendapat kemenangan, kemudian lanjutan ayat itu Adzab bagi yang mengingkari ketentuan atau batas-batas yang di tentukan Allah swt serta mendapat Adzab yang sangat pedih. Dalam firman Allah swt :

Artinya :  (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.(QS.An-Nisa:13)

Artinya :  Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS.An-Nisa:14)

Sahabat Dakwah yang di rahmati Allah swt, di dalam acara Grand Opening Madrasah Dhuha yang mana salah-satu Jama’ah yang mengajukan pertanyaan, yang mana pertanyaan ini hanya memudahkan antara sesame manusia menurut pandangan mayoritas, Namun tidak se enak kita untuk melakukan seperti itu, karena mengenai ilmu waris sudah di tetapkan dalam Al-Qur’an dan merupakan batas-batas dari Allah swt, berikut pertanyaan dari jama’ah yaitu :Bagaimana kalau setiap harta itu di Bagi Rata yang jelas Sama-sama Ikhlas?

Jawabnya: di dalam pembagian ahli waris itu tidak bisa harus di bagi rata karena dalam masing-masing ahli waris atau anak laki-laki dan perempuan harus pendapatkan hak masing-masing dan ini merupakan ketentuan dan ketetapan Allah swt,

Lanjut, kalau sebenarnya pembagian waris di bagi Rata itu baik sebenarnya, tapi apakah kita semua tidak takut dengan hukum-hukum Allah, di banding kita mengikuti keinginan dan perhitungan masing-masing, yang jelas percaya saja dengan hukum Allah. “Ujar Ust. Abduh Yazid”

Bagaiman dengan Ashobah?Ashobah yaitu orang yang mendapatkan warisan dari kelebihan harta setelah diserahkan pada ashabul furudh.

Urutan ‘ashobah dari yang paling dekat:

  1. Anak laki-laki
  2. Anak dari anak laki-laki (cucu)
  3. Ayah
  4. Kakek
  5. Saudara laki-laki seayah dan seibu
  6. Saudara laki-laki seayah
  7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (keponakan)
  9. Paman
  10. Anak paman (sepupu)
  11. Jika tidak didapati ‘ashobah, baru beralih ke bekas budak yang dimerdekakan.

Berikut ini Salah-satu contoh dalam pembagian waris :

Contoh soal :

Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan 1 anak perempuan dan seorang ayah.

Jawab:

Ayah: 1/6 + 2/6 ‘ashobah

Anak perempuan: 1/2 karena hanya satu, tidak ada anak laki-laki

Ahli waris

Bagian

Ashlul Masalah = 6

Anak perempuan

1/2

3

Ayah

1/6 + sisa

3

Akhir kata, mudah-mudahan kita semua senantiasa dalam lindungan Allah swt, senantiasa berpegang teguh kepada Hukum-hukum Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehinggah kita mendapatkan Rahmat Allah swt dan kembali kepada Allah dalam keadaan Fitrah. Amin ya Rabal Alamiin, Hadaanallah wa Iyyakum Ajma’iin…!!!

By : Muhammad Ali